09 July 2008

Launching, Baca, dan Diskusi Buku:

Launching, Baca, dan Diskusi Buku:

Bahaya Laten Malam Pengantin

—Kumpulan Sajak Aslan abidin—

Mengundang Anda untuk hadir dalam launching, baca, dan diskusi buku sajak Bahaya Laten Malam Pengantin karya Aslan Abidin, penyair dari Makassar. Kegiatan Sastra dari Makassar ini akan digelar dalam empat kota di lima tempat berbeda di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Masing-masing akan berlangsung:


[1]

Hari, Tanggal : Kamis, 10 Juli 2008.
Pukul :19.30. s/d 23.00.
Tempat : Green House Café Book,
Jl. Kebangkitan Nasional, No 45-B, Solo.
Kontak : Antok (085293326766)
Email : emailku_nde@yahoo.com.

[2]

Hari, Tanggal : Jumat, 11 Juli 2008.
Pukul : 19.30. s/d 23.00.
Tempat : Teater Terbuka Taman Budaya Raden Saleh, Jl. Singosari Raya, Semarang.
Kontak : Lanang (081325170872)
Email : lanangq@yahoo.co.id.


[3]

Hari, Tanggal : Sabtu, 12 Juli 2008.
Pukul : 19.30. s/d 23.00.
Tempat : Komunitas Hysteria Sastra, Jl. Stonen, No 29, Sampangan, Semarang
Kontak : Adin Hysteria (081325552925)
Email : histeria_sastra@yahoo.co.id.


[4]

Hari, Tanggal : Minggu, 13 Juli 2008.
Pukul : 19.30 s/d 23.00.
Tempat : Dewan Kesenian Kota Mojokerto (DKKM), Jl. RA Basuni IV, Mojokerto.
Kontak : Malik (081803230472)
Email : filantrophi@gmail.com.

[5]

Hari, Tanggal : Senin, 14 Juli 2008.
Pukul : 14.00. s/d 18.00.
Tempat : Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT),
Jl. Taman Mayangkara (Diponegoro), No 6, Surabaya.
Kontak : Mashuri (081331333131)
Email : misterhuri@yahoo.com.

Posted by muhammad mubarak aziz malinggi' at 9.7.08

09 June 2008

Ayah, Anak Beda Warna!


Tino Saroengallo lahir di Jakarta. Tetapi, di tubuhnya mengalir darah Toraja. Ayahnya, Renda Saroengallo, adalah orang Toraja. Sebagai anak yang lahir di Jakarta, Tino mendefinisikan dirinya sebagai ”Anak Toraja Kota”. Tino begitu galau terhadap adat yang tidak membesarkannya, tetapi malah membelenggunya. Hal itu ia alami ketika ayahnya meninggal dan harus dimakamkan di Toraja mengikuti aturan adat.

Namun tidak dijelaskan oleh Tino, apa yang dimaksud ”Toraja Kota”. Barangkali karena Tino lahir dan tinggal di Jakarta sehingga kota yang dimaksud adalah Jakarta. Dan Toraja, mungkin, karena di tubuhnya mengalir darah Toraja. Karena Toraja bukan kota, apalagi tanah kelahiran ayah Tino masuk kategori desa.

Buku ini menyajikan kisah Tino Saroengallo dan ke
luarganya dalam bergulat dengan adat. Diawali dari kisah sebelum ayahnya meninggal, tetapi masyarakat adat Toraja sudah mulai menanyakan soal bagaimana kelak pemakaman Renda Saroengallo, ayah Tino yang usianya 80 tahun ketika meninggal.

”Bagi masyarakat Indonesia umumnya pertanyaan ini mungkin aneh. Tetapi, bagi kami, suku Toraja Sa’dan, itu pertanyaan biasa. Pasalnya, pesan seseorang sebelum meninggal tentang tata cara ia dimakamkan sangat penting untuk mencegah pertikaian di antara keluarga yang ditinggalkan, terutama di kalangan masyarakat strata bangsawan atau tana’bulaan,” ujar Tino mengawali kisahnya yang ditulis pada bab 1 ”Pesan-pesan”.


Tata cara atau peraturan adat memang sudah dikenal turun- temurun atau bisa disebut telah bergenerasi. Aluk to dolo sebagai agama lokal masyarakat Toraja memiliki patokan peraturan. Tino juga mengerti akan hal itu dan menuliskannya di halaman 95. Simak apa yang ia lantunkan:

”Aluk to dolo berpatokan pada peraturan-peraturan yang diberikan sebagai bekal oleh Puang Matua kepada pasangan Puang Bura Langi dan Kombong Bura ketika dikirim ke bumi.
Peraturan itu mengatur tata cara hubungan antara manusia dan dewa-dewa serta peraturan-peraturan antara manusia dan manusia. Peraturan itu disebut aluk sanda pitunna (aturan serba tujuh). Jumlah asalnya adalah pitu lise’na, pitu pulona, pitu ratu’na, pitu sa’bunna, pitu kotekna, pitu tampangna, pitu sariunna (7.777.777). Tetapi konon, para pengikut Puang Bura ”Langi” tidak sanggup memikul seluruhnya turun ke bumi sehingga yang terbawa sampai ke bumi hanya 7.777, bahkan ada yang mengatakan hanya 777”.

Dimensi kultural dan ekonomi

Buku ini secara naratif dan bertutur mengisahkan pergulatan yang dialami Tino dan keluarga bukan hanya melelahkan secara psikis, tetapi juga melibatkan ekonomi. Dalam kata lain, kematian orang Toraja, apalagi seorang bangsawan dan tokoh masyarakat seperti ayah Tino, selain memiliki dimensi kultural sekaligus mempunyai dimensi ekonomis. Dan biaya keseluruhan ritual pemakaman berikut tetek bengeknya menjadi tanggungan keluarga yang ditinggalkan.

Proses pemakaman tidak pernah sepi dari rapat-rapat adat. Tidak sepi dari jumlah orang yang terlibat. Rapat adat bukan untuk mendengarkan tingkat kesulitan keluarga yang ditinggalkan, tetapi lebih untuk mengedepankan adat dan keluarga mengikuti apa yang telah menjadi ”kehendak” adat. Jadi, persiapan dan pembicaraan serta rancangan yang sudah dilakukan di Jakarta, di mana ayah Tino dan keluarganya tinggal, bukan menjadi rujukan. Kep
utusan adat yang berlaku.

Pada dimensi ekonomi, Tino menyebut angka-angka sebagai wujud betapa fantastisnya biaya ritual adat. Angka-angka yang ditulisnya di halaman 156 hanyalah sebagian kecil dari jumlah yang fantastis. Coba kita dengarkan apa kata Tino Saroengallo mengenai angka-angka itu:

Dalam perhitungan kasar, untuk membeli dua kerbau, kami memerlukan dana sebesar Rp 28.500.000. Biaya perjalanan mengantar jenazah sudah menghabiskan dana Rp 38.000.000. Kalau semula Tandi menyatakan maksimum anak ke-5 menyumbang Rp 50.000.000, maka hal itu jelas tidak mungkin lagi. Akhirnya angka sumbangan
dinaikkan menjadi Rp 90.000.000 untuk lima orang anak atau masing-masing Rp 18.000.000. Dari jumlah itu, teoritis kami hanya mampu menyumbang sekitar Rp 20.000.000 untuk persiapan dan pelaksanaan upacara.

Dalam berkisah Tino sering bergerak menggunakan kata ”saya” untuk menyebut dirinya. Namun, kadang beralih pada kata ”kami” untuk menunjukkan bahwa bukan hanya dirinya yang berada pada satu situasi tertentu. Nama-nama selain dirinya disebutkan sebagaimana adanya sehingga terdapat tidak sedikit nama dalam buku ini. Selain menyebut nama ibu kandungnya yang telah bercerai, Tino juga menyebut nama istri kedua ayahnya yang biasa dipanggilnya tante.

Dalam ”kisah adat” yang diceritakan, Tino Saroengallo tak mampu ”melawan” apalagi mengubah adat. Apa yang pernah ia pikirkan: lebih baik ayahnya dikuburkan di Jakarta. Simpel gampang dan tidak mahal, hanyalah pikiran belaka
. Kuasa adat yang menentukan dan Tino serta saudara-saudaranya tidak kuasa menolaknya. Bahkan, kata Tino, kalau dihitung-hitung, utangnya baru akan lunas pada tahun 2014 (hal 335).

Kisah Tino Dan Okwonko

Membaca buku Tino Saroengallo mengingatkan pada buku Things Fall Apart tulisan Chinua Achebe. Dalam bukunya tersebut, Achebe memaparkan kisah dramatis suku Umuofia di Afrika, yang ”segalanya berantakan” karena kehadiran orang (nilai) asing dengan tradisi berbeda. Tradisi yang telah dipegang bergenerasi berantakan tidak bisa dipertahankan, bahkan tokoh yang mencoba mempertahankan tradisi, Okonkwo namanya, juga tidak berdaya menghadapi ”kehadiran orang asing”.

Akhirnya, Okonkwo mati secara tragis: bunuh diri. Dalam tradisi di Umuofia, orang yang meninggal dengan cara bunuh diri tidak boleh dikuburkan oleh suku Umuofia karena bumi yang suci tidak bisa menerima kematian seperti itu.

Buku Tino Ayah Anak Beda Warna berkisah sebaliknya. Tradisi yang telah bergenerasi di Toraja tidak ”berantakan” seperti di Umuofia. Tradisi di Toraja justru semakin kuat dan sedikit sekali memberi tempat anak Toraja yang sudah berinteraksi, dalam istilah Umuofia, dengan (orang) nilai asing, untuk meninggalkan tradisi yang sudah bergenerasi. Adat
akan berupaya keras agar orang Toraja, apalagi tokoh berpengaruh seperti ayah Tino, untuk dikembalikan ke tanah kelahirannya meskipun sudah dalam bentuk jasad.

Terasa menarik membaca buku karya Tino Saroengallo, selain karena teknis penulisannya enak dibaca.
Mengalir. Lebih dari sekadar teknis, narasi Tino memberikan nuansa antropologis, sosilogis, bahkan ekonomis. Dan yang lebih mengagumkan lagi, Tino menuliskannya secara jujur. Data-data tidak disembunyikan. Dituliskan apa adanya. Ada banyak tokoh dan peran disebutkan, tetapi bukan fiktif. Justru tokoh itu benar-benar ada.

Tulisan karya Tino Saroengallo ini bukan fiksi, juga bukan karya ilmiah, tetapi dituliskan menggunakan gaya fiksi. Ada dialog. Ada kisah perjalanan, ada deskripsi, sehingga unsur filmisnya bisa ditemukan.


Kalau Okonkwo tidak berdaya menghadapi orang asing. Tino Saroengallo sebaliknya. Tidak berdaya menghadapi adat. Pergaulan global yang telah dia jalani nyaris tidak mampu memberikan kontribusi perubahan terhadap tradisi yang melahirkan ayahnya, dan tradisi itu dijaga oleh ayahnya meski jalan hidup ayahnya sudah keluar jauh dari tradisi: sekolah di Belanda dan hidup di kota metropolitan Jakarta.

Tino Saroengallo dan keluarga akhirnya menjalankan seperti apa yang ”diminta” tradisi (adat). Jasad ayahnya telah memasukkan Tino Saro
engallo dan saudara-saudaranya pada identitas lokal yang kuat. Dan identitas itu juga melekat pada diri (Tino) Saroengallo dan saudara-saudaranya.

Pada Tino Saroengallo, yang menulis buku ini, barangkali puisi Chairil Anwar berjudul Kepada Kawan bisa melukiskan situasi Tino pada saat dia bergelut dengan adat. Berikut petikan puisi itu:

kawan, mari kita putuskan kini di sini

Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri

Tino Saroengallo memang bukan Okonkwo, yang menempuh jalan tragis.
Meski mungkin, pinjam kalimat puisi Chairil Anwar, adat telah ”mencekik”. Melalui jasad ayahnya, Tino (dan keluarganya) telah dimasukkan ke ”lorong adat’, yang dia tidak mampu menolak. Pilihan yang akhirnya diambil, Tino menerima adat dengan segala konsekuensinya. Dan untuk dirinya dia ”tinggalkan adat” dengan cara menikah lagi untuk ”mengubah” dirinya. Pada yang terakhir ini, rasanya Tino tidak ”beda warna” dari ayahnya (hal 336). Pada ”yang lain-lain” mungkin banyak perbedaannya.

Christianto Wisma Nugraha.
Dosen Jurusan Sastra Nusantara
Fakultas Ilmu Budaya, UGM Yogyakarta
© KOMPAS, Minggu 30 Maret 2008.

Posted by muhammad mubarak aziz malinggi' at 9.6.08

30 May 2008

La Tando di Toradja

Judul

La Tando di Toradja

Sutradara

Abubakar Djunaedi; Supardi, B.

Produser

Latief Macca, A.

Pemeran Utama

Hadisjam Tahax; Dolf Damora

Pemeran Pembantu

Risma Neswaty; Wahid Chan; Moh Mochtar; Larado; Godfried Sancho; Daeng Harris.

Keterangan Publikasi

Jakarta : CV Alam Film, tahun 1971

Deskripsi Fisik

Film berwarna

Media

Film layar lebar

Sinopsis

La Tando (Hadisjam Tahax), pangeran buruk rupa dari Bugis, melihat benda ajaib di sungai dalam pengembaraannya. Dua pengawalnya yang hendak mengambil benda itu, mati. Tidak demikian dengan La Tando. Benda itu adalah sebuah jeruk berisi rambut sangat panjang milik seorang putri yang tinggal di hulu sungai, desa Minanga. La Tando berniat memperistri putri itu. Ia susuri sungai Saddang dengan segala rintangannya dan berhasil menemukan pemilik rambut, Putri Landorundum (Risma Neswati), yang ternyata telah dipertunangkan dengan bangsawan Toraja, Palaka (Dolf Damora). Konflik terjadi, La Tando gagal melamar, tapi ia tak putus asa. Suatu ketika Landorundum memetik mangga ciptaan La Tando. Putusan adat: Landorundum jadi milik La Tando. Palaka tidak terima dan mengerahkan seluruh kekuatan kerajaan untuk menghadapi La tando yang sakti. Palaka tewas, La Tando pulang dengan membawa Landorundum sebagai istrinya. Film ini berniat mengolah alam Toraja.

Subjek

Cerita rakyat toraja

Bahasa

Indonesia

Penulis Skenario

Supardi, B.

Penulis Cerita

Penata Artistik

Penata Suara

Penata Musik

Penata Foto

Taba, HM

Penyunting

Sound Track

Judul Lain

Catatan

Sumber Katalog

Katalog Film Indonesia 1926-1995 / JB Kristanto. – Jakarta:Grafiasari Mukti, 1995

Posted by muhammad mubarak aziz malinggi' at 30.5.08

lakipadada dan kerajaan gowa

Dari mana Gowa berasal? Negeri ini sudah ada sejak dahulu kala. Tidak ada yang tahu asal mula negeri ini secara pasti. Namun konon, Gowa awalnya dipimpin oleh empat bersaudara secara berturut-turut : Batara Guru I,Yang Dibunuh di Talah (nama asilnya tidak diketahui), Ratu Sapu (Maranca), dan Karaeng Katangka. Di bawah kepemimpinan raja-raja itu, rakyat Gowa sudah sejak lama hidup damai dengan alamnya dengan bertani, berkebun, dan berlayar.

Rakyat Gowa juga mendirikan negeri-negeri kecil yang masih berada dalam lingkup kekuasaan Kerajaan Gowa. Tiap-tiap negeri itu dipimpin oleh seorang penguasa, yang merupakan raja kecil. Negeri kecil itu berjumlah sembilan, yaitu : Tombolo, Lakiung, Saumata, Parang-parang, Data, Agang Jekne, Bisei, Kalling, dan Sero

Sepeninggal Karaeng Katangka, Gowa mengalami kekosongan kepemimpinan. Maka raja dari sembilan negeri itu berkumpul dan membuat gabungan yang dipimpin oleh seorang Paccallayya, yaitu seorang pejabat yang mengetuai pemerintahan gabungan, dan sebagai ketua dewan, juga sebagai hakim tertinggi bila terjadi perselisihan.

Waktu terus berjalan beberapa lama, Gowa masih juga belum memiliki pemimpin. Di antara raja-raja kecil pun merasa enggan untuk mengangkat salah satu dari mereka untuk dijadikan raja. Hal itu ternyata membuat banyak terjadi perselisihan di antara raja dan negeri-negeri kecil. Gowa menjadi kacau, dan menjadi sasaran empuk serangan kaum Garassi, Untia, dan Lambengi. Kaum-kaum itu adalah kaum yang berada di luar wilayah Gowa.

Setelah perang berakhir, terdengar kabar yang menggemparkan seisi negeri bahwa di sebuah tempat bernama Takak Bassia ada seorang raja wanita yang turun dari Kayangan.

Paccallayya dan raja-raja pun segera pergi mendatangi tempat tersebut. Dan ternyata benar, di tempat yang di maksud mereka mendapati seorang wanita yang cantik parasnya dengan memakai sebuah dokoh yang indah. Mereka tidak mengenal nama asli perempuan tersebut. Dialah wanita yang turun dari kayangan bersama dokohnya, piring jawa, beserta istananya yang sebesar lima petak di dekat sebatang pohon mangga jombe-jombea.

Lalu berkatalah Paccallayya dan raja-raja kecil kepada perempuan Tumanurung (turun dari langit) itu,

“kami semua datang kemari untuk mengambil engkau menjadi raja kami”

Sang Tumanunrunga menjawab, “Engkau pertuan kami, masih menumbuk, masihmengambilair”.

Berkata lagi Paccallayya dan sembilan raja, “sedangkan istri kami tidak menumbuk, tidak mengambilair, apalagi Engkau yang kami pertuan”.

Lalu Tumanurunga bangkit, dan rela diangkat menjadi raja. Sejak saat itu Gowa memiliki seorang pemimpin baru, seorang raja yang turun dari langit.

Paccallayya dan Kasuwiang Salapanga (sembilan pengabdi, raja-raja kecil yang berubah jabatannya sejak naiknya Tumanurunga menjadi raja Gowa1) membangun sebuah istana yang besarnya sembilan petak di Takak Basia untuk Tumanurunga, kemudian istana itu dinamai Tammalate, yang artinya Tidak Layu. Dinamai demikian karena daun-daun darikayu yang dijadikan istana itu belum layu sewaktu istana selesai dibangun.

Tumanurunga begitu termasyhur akan kecantikan dan kebijaksanaannya. Kabar mengenainya terus tersebar ke luar wilayah Gowa. Maka datanglah raja-raja dari negeri lain untuk menyembah dan tunduk kepada Tumanurunga.

Namun lama setelah Tumanurunga menjadi raja, Kasuwiang Salapanga menjadi khawatir karena sang Raja Wanita belum juga memiliki pendamping. Kelak jika raja mangkat, dan belum juga mempunyai keturunan maka Gowa akan kembali menjadi kacau balau.

Pada saat itu datanglah dua pemuda masuk ke Gowa dari arah selatan. Dua pemuda bersaudara dan tidak jelas asal usulnya, namun konon berasal dari Tana Toraja. Yang satu bernama Karaeng Bayo, dan saudaranya bernama Lakipadada. Karaeng Bayo memiliki sebuah kelewang (badik) yang bernama Tanruballanga, dan Lakipadada memiliki sebuah kelewang yang dinamai Sudanga. (konon kedatangan Lakipadada ke Gowa dengan bergantungan di cakar seekor burung garuda).

Paccallayya dan Kasuwiang Salapanga yang mengetahui kedatangan dua pemuda tadi bergegas menemui keduanya dengan maksud mempersuami-isterikan Karaeng Bayo dengan Tumanurunga.

Berkatalah Paccallayya dan Kasuwiang Salapanga, “kami datang mengambil Engkau untuk mempersuami-isterikan Engkau dengan raja kami”.

Karaeng Bayo menjawab, “sedangkan Engkau si empunya negeri menurunkan kami ke dalam lubang tanah kami berdiam diri, apalagi Engkau naikkan kami ke puncak pohon kelapa. Sudah tentu hal itu sangat menggembirakan hati kami”.

Maka bertempat di Tammalate, dilaksanakanlah pernikahan antara Karaeng Bayo dan Karaeng Tumanurunga dengan upacara kebesaran menurut adat istiadat kerajaan Gowa. Seluruh rakyat riuh dalam suka cita, bersyukur kepada Dewata atas berlangsungnya perkawinan itu.

Beberapa waktu setelah itu, antara Karaeng Bayo dan Karaeng Tumanurung, serta Paccallayya dan Kasuwiang Salapanga diucapkan ikrar yang akan selalu diingat oleh rakyat Gowa. Ikrar tersebut berbunyi

Karaeng Bayo Berkata kepada Paccallayya dan Kasuwiang Salapanga :

  1. Bahwasanya Engkau angkat kami menjadi rajamu. Kami bersabda dan Engkau tunduk patu. Kami adalah angin, Engkau adalah daun kayu.

Paccallayya dan Kasuwiang Salapanga menjawab :

  1. Bahwasanya kami telah mengangkat engkau menjadi raja kami, Engkau adalah raja dan kami adalah hamba rakyat tuanku.
  2. Engkau adalah sangkutan tempat bergantung, kami adalah lau (tempat air tuak, terbuat dari kulit labu). Kalau sangkutan tempat bergantung patah dan lau tidak pecah, kami mati.
  3. Kami tidak akan tertikam oleh senjatamu, engkaupun tidak tertikam oleh senjata kami.
  4. Hanya Dewata yang membunuh kami, engkaupun hanya Dewata yang membunuhmu.
  5. Bertitahlah Engkau dan kami tunduk patuh. Kalau kami menjunjung, maka kami tidakmemikul, kalau kami memikul maka kami tidak menjunjung.
  6. Engkau adalah angin, kami adalah daun kayu. Akan tetapihanya daun kayu yang telah menguning sajalah Engkau luluhkan.
  7. Engkau adalah air dan kami adalah batang hanyut. Akan tetapi hanya air pasang yang besar saja yang dapat menghanyutkan.
  8. Walaupun anak kami, walaupun isteri kami, jika kerajaan tidak menyukainya, maka kami pun tidak menyukainya.
  9. Bahwasanya kami mempertuan Engkau, bukan harta benda kami.
  10. Engkau tidak akan mengambil ayam dari kandang ayam kami, engkau tidak akan mengambil terlur ayam dari pekarangan kami, tidak mengambil kelapa kami sebutirpun dan tidak mengambil pinang setandanpun dari kami.
  11. Jika Engkau mengingini barang kepunyaan kami, Engkau membelinya yang patut dibeli, Engkau menggantinya yang patut diganti, Engkau memintanya yang patut diminta, dan kami akan memberikan kepada Engkau, Engkau tidak boleh terus mengambil begitu saja milik kami.
  12. Raja tidak akan memutuskan hal ikhwal di dalam negeri jika gallarang tidak hadir dan gallarang tidak mengambil keputusan tentang sooal perang jika raja tidak hadir.

Lalu Karaeng Bayo dan Karaeng Tumanurunga menerima ikrar bersama tersebut.

Dari pernikahan Karaeng Bayo dan Karaeng Tumanurunga lahir seorang putra dengan kondisi tidak biasa. Dia lahir setelah tiga tahun lamanya di dalam kandungan. Dia dapat berbicara dan berlari sesaat setelah dilahirkan. Ia pun disebut Tau Assala-salang (Orang Kerukut).

Anak itu diberi nama Tumassalangnga Baraya. Diberi nama seperti itu karena memiliki bahu yang tidak rata. Sebelah telinganya memiliki benjolan, dan sebelah lainnya berbentuk lebar tidak normal. Telapak kakinya sama panjang antara depan dan belakang, dan pusarnya seperti bakuk karaeng.

Maka bersabdalah bundanya, “mengapaanakku seorang-orang kerukut karena bahunya miring, telinganya seperti bukit yang melambai-lambai, rambut yang putus di Jawa dapat didengarnya. Kerbau putih mati di Selayar tercium olehnya. Burung merpati yang ada di Bantaeng dapat dilihatnya. Kakinya seperti timbangan, pusarnya bagaikan mta air, tangannya pandai menikam. Siapa yang menyembah kepadanya bertahil-tahil emasnya. Siapa yang menyembah dia akan dimohonkannya berkat keselamatan. Siapa yang menyembah dia akan menjadi rakyatnya”.

Kelak Tumasalanga Baraya juga menjadi Raja Gowa yang ke II, menggantikan ibundanya.

Sumber :

Baca dari sumber aslinya

Tulisan : Mohammad Mustamar Natsir

  1. Kadang juga disebut Bate Salapang atau Sembilan Pemegang Bendera.

Posted by muhammad mubarak aziz malinggi' at 30.5.08

10 May 2008

Penyelamatan Bumi dan Sejumlah Paradoks

Urusan menyelamatkan Bumi yang kian koyak akibat ulah manusia, semakin mendesak dilakukan. Yang dibutuhkan bukan aksi om-do (omong doang). Langkah nyata, sekali lagi langkah nyata yang dituntut dalam kehidupan kita sehari-hari. Sayangnya banyak paradoks dalam sikap manusia berurusan dengan alam. berikut catatan kegiatan hari Bumi di Universitas Hasanuddin (Unhas) yang diadakan 22 dan 23 April lalu.

"Dilarang merokok selama acara berlangsung". "Area bebas puntung rokok”. Demikian bunyi marka yang terdapat tepat di gerbang halaman parkir rektorat Unhas. Panji-panji PT. Hanjaya Mandala Sampoerna, perusahaan rokok terbesar ketiga di Indonesia, berdiri melambai di sekitar marka. Dentuman musik dan dentam iklan sponsor berkumandang di antara rimbun pepohon dan ratusan mobil pribadi yang berteduh di bawahnya. Kenduri Hari Bumi bertema Senandung Hutan Tropis yang digarap Earthcare Indonesia dan disokong penuh Sampoerna untuk Indonesia ini adalah sebagai bentuk seruan penyelamatan Bumi.

Kawasan parkir yang didominasi pohon-pohon Ki hujan (Samaena saman) dan Akasia (Acacea) ini diduduki ratusan mahasiswa Unhas dan beberapa kelompok seni yang akan mentas hari itu. Instalasi stand pameran berbahan bambu mengelilingi panggung, poster-poster kampanye yang dipaku di pangkal tumbuhan, pembawa acara berdialek Jakarta dan orang-orang yang bersepeda ontel menyemarakkan acara. Tak ketinggalan foto-foto ibu hamil, tanaman hias dan lukisan-lukisan cat tanah merias pohon di parkiran.

Setiap tanggal 22 April , aktivis lingkungan memperingati Hari Bumi se-dunia. Isu pemanasan global dan perubahan iklim global sudah jelas menjadi pusat perhatiannya.

Tepat pada Hari Bumi ,Seminar Nasional "Next Tropical Forest Stage" berlangsung di Gedung Pusat Kegiatan Penelitian (PKP) Universitas Hasanuddin. Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin, Dr Ir Muhammad Restu MP, Dekan Fakultas Kehutanan Unhas, Sri Endang Sukamti dari Dinas Kehutanan Sulsel dan Prof Dr Ir Jamal Sanusi, ahli pulp Indonesia Timur, hadir sebagai pembicara. Dalam seminar ini kerusakan hutan indonesia dan penggunaan kertas menjadi topik yang banyak diomongkan.

Unhas yang menjadi tuan rumah perhelatan ini diusulkan menjadi proyek percontohan penerapan kebijakan penggunaan skripsi sarjana model timbal balik.
Lantaran skripsi model satu sisi halaman dinilai terlampau boros kertas. Selain itu, masyarakat juga diminta mengurangi pemakaian tisu toilet dan mengalih ke sapu tangan saja.

Usulan skripsi model dua sisi dan penciutan pemakaian tisu, dinilai sebagai wujud nyata peduli keabadian lingkungan. "Hingga saat ini sebagian besar kebutuhan kertas di Indonesia merupakan bahan impor. Hutan Indonesia yang menjadi sumber bahan baku kertas tersebut makin berkurang luasnya secara drastis setiap tahunnya." jelas Dr Ir Muh Restu MP, Dekan Fakultas Kehutanan Unhas.
Seminar juga menyerukan agar pelaku industri, supermarket, dan rumah tangga berhenti menggunakan tas plastik dan diganti tas kertas.

Saat ini Sulawesi telah kehilangan 2,1 juta hektar hutan. Selain aktivitas manusia yang sangat serakah membabat hutan, pengaruh alam juga turut merusak, namun dalam jumlah kecil. Pesisir juga tak mau kalah memprihatinkan kondisinya, mangrove yang memiliki kekuatan menangkal tsunami sampai 70 persen juga terancam, bahkan tingkat kerusakannya telah mencapai 80 persen. Kawasan hutan mangrove yang efektif 200.000 Ha, kini tersisa 28.000 Ha.

Walikota Makassar dalam sambutannya menyatakan komitmen akan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di wilayah kota Makassar. Namun, hilangnya RTH di kota dengan tingkat polusi tertinggi kedua di Indonesia ini, tak lepas dari kebijakan sang walikota sendiri dalam pembangunan sarana perkotaan selama ini.

Pertumbuhan mal dan ruko di Makassar sangat pesat, dan cenderung tidak mengindahkan tata kelola lingkungan. Contohnya, atas nama pembangunan kota, penebangan ratusan pohon tua dihalalkan di sepanjang Jalan Perintis Kemerdekaan agar masalah kepadatan kendaraan di jalan terselesaikan. Jalan protokol enam jalur ini sudah kehilangan ratusan batang pohon, ditebang tanpa ampun, sementara Walikota berkomitmen menciptakan ruang hijau dalam seminar itu. Sangat ironis dan penuh paradoks, bukan?

“Earth Day, Sound of Forest” pesta peringatan Hari Bumi digelar di Kampus Merah sehari setelah perayaan Hari Bumi 22 April 2008. Pertunjukan musik dan puisi, dan demonstrasi di jalan seolah menjadi acara wajib hari itu. Sehari sebelum Earthday, para aktivis Earthcare mengadakan aksi teatrikal dengan menciumi pohon secara bergantian. Menurut salah seorang peserta aksi, ini merupakan salah satu bentuk keprihatinan atas kondisi lingkungan.

Acara Sound of Forest mencoba menyadarkan orang-orang akan kerongsokan lingkungan. Diisi acara pembacaan puisi dari Aan Mansyur, Mansyur Rahim, Andika Mappasomba, orasi lingkungan Rahman Arge, dan aksi teatrikal beberapa kelompok teater kampus di Makassar. Turut tampil beberapa band indie Makassar seperti Kartoo Band dan Kelompok Pemusik Jalanan Makassar(KPJM) dan ditutup konser duta lingkungan Indonesia, Nugie.

Bagi korrdinator acara, Burhan, Nugie diundang hadir sebagai duta lingkungan Indonesia. "Acara ini sebagai bagian turut serta mengajak civitas kampus dan masyarakat untuk mengacuhkan lingkungan," jelas pria bertubuh gempal ini

Untuk mendatangkan Agustinus Gusti Nugroho jutaan dana dihabiskan untuk alunan 4 buah lagu. Duta lingkungan yang membawa obor Olimpiade Beijing di Indonesia ini menyerukan agar anak muda tetap menjaga hijau hutan. Pelantun lagu ”Dunia Berbagilah” ini tiba di parkiran rektorat Unhas sekitar jam setengah enam sore. Saat naik ke panggung, para penonton yang tersebar di beberapa titik langsung berbondong mendekati panggung. ”Wah Makassar adem banget ?” Salam pembuka ayah Arkazora Nugraha kepada penonton. Dan dibalas teriakan histeris penonton yang kebanyakan perempuan.

”Lihat disana… rimba hijaupun menjadi gurun...Berbagilah… pada dunia.... Bumi memanas membutuhkan kita.... Dunia memanggil tuk kita berbuat..... Demi bumi ini, yang hanya ada satu...”penggalan lirik Dunia Berbagilah, lagu tema Konvensi PBB untuk Kerangka Perubahan Iklim (UNFCCC) yang diselenggarakan di Bali, Desember 2007 lalu.

Pertunjukan bernilai jutaan rupiah ini jelas adalah aksi penyadaran tapi bukan jawaban nyata luluh lantaknya hutan kita. Walaupun Nugie bersenandung sehari semalam, penebangan hutan terus terjadi dan kita masih tak peduli. ”Akan sangat berguna apabila uangnya dijadikan tempat sampah atau pembelian bibit pohon” kata Ari, pengelola PPLH Puntondo, salah seorang peserta pameran. Permasalahan sampah yang terlalu dekat dengan mata dan hidung mungkin sesuatu yang tak laku. Sedang kota Makassar yang berpenghuni 1,5 juta sampah yang diproduksi hampir 700 ton setiap hari atau 3.582 meter kubik.

Bicara lingkungan memang pelik dan penuh paradoks. Saya misalnya bertanya-tanya mengenai kehadiran PT. Inco, perusahaan penambangan nikel yang jadi langganan protes aktivis lingkungan ini adalah salah satu pendukung acara ini.
Dalam rangka Hari Bumi PT. Inco juga menaman pohon sebanyak 15.000 bibit di Luwu Timur. Apabila jarak tanam bibit itu 2 x 2,5 m, maka maksimal untuk satu hektare lahan hanya ada 2.000 pohon. Artinya hanya ada 7,5 hektare yang dihijaukan atau 0,006356 % dari hutan yang di konversi perusahan nikel ini dan baru ”membayar” 10 % dari pengrusakan hutan lindung di Pomalaa Timur .

Selain PT Inco, perusahaan milik anggota DPD RI, HM Aksa Mahmud turut serta mendukung aksi penyelamatan hutan yang dilakukan tanggal 22-23 April 2008 ini. Saya juga melihat paradoks di sini. Menurut data Jurnal Celebes tahun 2005, PT Semen Bosowa dan PT Bosowa mining sangat berperan dalam menghancuran bukit karst di sekitar Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung seluas 2.357,7 hektar. Selain merusak bukit karst, penambangan ini juga ikut menghancurkan habitat kupu-kupu di sekitar Taman Nasional.

Sementara aktivitas penambangan pasir kuarsa untuk bahan baku semen dilakukan pada tiga desa di Kecamatan Mallawa. Dulu lokasi penambangan kuarsa ini adalah hutan produksi ditumbuhi pohon kemiri, sehingga dikenal sebagai penghasil kemiri terbesar di Maros, akan tetapi sekarang pohon kemiri sudah tidak ada. Yang ada hanyalah kubangan-kubangan bekas penambangan kuarsa yang tidak direklamasi. Lokasi penambangan pasir kuarsa terus semakin bertambah ke desa lainnya, misalnya Desa Bentengge’ yang berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

Sedangkan Walhi punya catatan mengenai perusahaan ini. Disebutkan areal konsensi pertambangan PT Semen Bosowa dan PT Mining Bosowa di kawasan hutan lindung Bulusaraung dapat dijumpai di Kampung Butto Kampong, memiliki galian eks pengerukan material tanah liat oleh PT Semen Bosowa, sudah mencapai dua hektar lebih dengan kedalaman 0,5 meter - 2 meter. Hal serupa juga terjadi di Kampung Ammasangeng.

Sore mulai beranjak malam saat Nugie mendendangkan lagu ”pelukis malam”. Masjid-masjid mulai semarak dengan azan magrib, sementara ratusan pemirsa masih setia duduk di depan panggung mengindahkan lirik ”wahai malam panjang tuntunlah penaku, melukis warnamu di dalam kalbu, wahai malam panjang buailah diriku....” terus membuai.

Sekembali dari pesta Hari Bumi, saya melewati Pintu Dua Unhas, tepat di depan markas Kavaleri pohon sudah bertumbangan dan alat-alat berat siap meratakan terparkir di sampingnya. ”Lihat disana...rimba hijaupun menjadi gurun...tersentuhkah hatimu,” Nugie mungkin masih bersenandung di rindang pohon-pohon di kawasan parkir Unhas.

Posted by muhammad mubarak aziz malinggi' at 10.5.08

Teguh dan Techno Menggenjot Sepeda Melanglang Nusantara



Meskipun Teguh pernah menderita stroke, niat keliling dunia dengan kereta anginnya sangat dahsyat. “Semangat semata yang membuat saya mengayuh sepeda ke Makassar” ucap Teguh, sembari menghirup rokok kreteknya. Teguh Puji Budi Santoso, lelaki kelahiran 17 September 1964, amat terobsesi mendayung ruda dua bututnya mengelilingi Benua Asia, bahkan dunia.


Pit merek Mustang berwarna coklat berkarat pernah dikendarai melewati beberapa Pulau di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Seluruh kota di Jawa telah dilaluinya kemudian kota-kota di Pulau Borneo, malahan telah melintasi negara Jiran Malaysia dan Brunei Darrussalam. Dia memintas perbatasan Malaysia melalui Tarakan.

“Di Malaysia, Saya pernah ditodong pistol oleh Polis Diraja Malaysia” tuturnya, sambil mengarahkan telunjuk tepat di jakunnya. Teguh ditangkap karena dianggap imigran gelap di Cawang Risik Kucing, Malaysia. Beruntung dia hanya di interogasi Kepolisian Serawak selama 2 jam lebih kemudian di lepaskan. Baginya, itu menjadi pengalaman paling bernilai selama perjalanan yang di mulai Desember 2006.

Latar belakang penjelajahan pria berjanggut ini sewaktu sembuh dari stroke yang sempat menderanya. Penduduk ber-KTP Desa Tegal Banteng ini mengalami kelumpuhan karena stroke yang menggerogoti tubuhnya sekira 6 tahun. Kala itu, ia bernazar akan bersepeda jika pulih, dan tak tanggung-tanggung, Asia menjadi target perjalanannya.

Ia mengawali perjalanannya dari kota kelahirannya Jember pada akhir tahun 2006. Jalur kota-kota di Pulau jawa dijajalnya lalu Teguh langsung menuju aspal Pulau Kalimantan. Di Pulau Kalimantan, lulusan Fakultas Teknologi Industri ini membutuhkan waktu sebulan lebih merasakan lintasan Indonesia-Malaysia-Brunei Darussalam. Puas menggenjot sepedanya di Pulau Borneo dia beralih ke Pulau Celebes.

Setelah mengayuh selama 1 tahun 7 bulan, di Pulau sulawesi ia memulai rute dari Makassar, dengan rencana rute Makassar-Toraja-Palu-Menado. Jika tak ada hambatan ditiap kabupaten akan memakan waktu paling lama 5 hari. Seusai mengitari Sulawesi, mantan pekerja galangan kapal di Surabaya ini akan menggenjot sepedanya di Pulau Sumatera. Puas mengayuh injak-injak di Sumatera, ia berkehendak menyeberang ke negeri Gajah Putih Thailand, dan melanjutkan ke Indochina hingga Arab Saudi.

Meskipun kelihatan sehat, sisa-sisa penyakit stroke yang dulu disandangnya masih nampak. Tatkala berbincang dengannya, saya harus mengulangi pertanyaan karena pendengarannya agak terganggu. Tangan kanannya gemetar, bicara terbata-bata dan nafas tersengal. Bahkan dia sering menunduk dan mengelus dada, mungkin karena sakit. Namun, spirit pria bercambang lebat ini tampak tatkala membicarakan perjalanan roda anginnya.

”Kalau mau menghubungi saya jangan SMS ya...tapi menelpon!”ujarnya ketika saya meminta nomor teleponnya. ”Mata saya sudah mulai rabun dek...tak terlalu bisa membaca SMS” cakap lulusan Teknik industri, Institut Teknologi Malang, seraya menutup salah satu mata dengan tangannya.

Tahun depan, bapak dua anak ini akan berencana menyusuri Asia melalui Thailand dan mengakhirinya di Arab Saudi. Kira-kira memakan waktu sekitar 5-6 tahun. Selama perjalanan, Teguh mengaku banyak mengalami pengalaman berharga, baik yang menyenangkan maupun tidak. "Di daerah, bisa ketemu banyak orang dan melihat aneka ragam budaya," ucapnya.
Mantan penderita stroke ini mengungkapkan, sepanjang setahun lebih bersepeda sudah 7 kali dia mengganti ban karena bocor atau pecah. Lalu 3 kali mengganti rantai yang putus dan garpu sepedanya patah sekali hingga harus dilas.

”Saya tak pernah takut, bila terjadi apa-apa selama perjalanan, sedikitpun tak takut” jawabnya ketika saya menanyakan perihal kesehatannya.

Lain Teguh lain Techno


Walaupun sama-sama bersepeda, namun latar belakang bersepeda mereka berbeda. Apabila Teguh mengayuh karena menggugurkan nazarnya, Agus Sutikno hanya ingin mengenal aneka budaya nusantara yang sering ia lihat di televisi. Berbekal sepeda onthel butut ia menantang dirinya untuk menjelajahi nusantara. Setelah menempuh 21 bulan di atas sadel sepeda unta, puluhan kota di Republik ini telah disinggahinya.

Aspal Sumatera, Jawa, Bali, dan Borneo sudah dirasakan ban 28 inchinya. Si Rayap Aspal begitu ia dijuluki, telah mengantongi ratusan sertifikat kunjungan dari berbagai daerah di Indonesia termasuk sertifikat pengunjung Titik Nol Kilometer Indonesia di Nangroe Aceh Darussalam. Tempo hari, saya bertemu di Kampus Unhas, Tepat Hari Bumi, dia sedang ditemani anggota Komunitas Sepeda Tua Makassar (KOSTUM).

Memulai perjalanan dari Jogjakarta pada tanggal 19 Agustus 2006 dengan cita-cita mengayuh sepeda kebo dari Sabang sampai Merauke. Ia mengayuh sepedanya menuju Sragen-Banyuwangi-Gilimanuk dan melintas ke Bali. Dari Bali, lalu menuju Sumatera melewati Ibu Kota Indonesia. Lampung, Palembang, Padang, Bukit Tinggi, Siantar, Tebing Tinggi sampai Aceh, ia jajal. Lantas menuju Batam, Kalimantan, dan Sulawesi.

Awalnya dia ditemani 5 orang temannya, namun ketika roda sepeda baru di Bali, temannya mengundurkan diri karena tak kuat lagi. Kini Techno sampai di Makassar dan begitu banyak cerita dari berbagai latar belakang kebudayaan daerah di kepalanya. Di Kalimantan dia bertemu dengan suku-suku yang sebelumnya hanya bisa ia lihat di TV.

Sepeda pemberian pamannya, Surat Jalan dari Pemerintah Daerah Jogjakarta, pakaian seadanya dan kotak P3K menjadi modal awal memulai ambisinya. ”Saya tak punya apa-apa bro, modal saya hidup di kampung orang cuma sikap ramah dan sopan bro,” ujarnya, ketika saya bertanya berapa juta yang telah ia habiskan.

Menurut Techno, mengamen pun tak masalah, asal bisa makan dan merokok. Selain sepeda kumbangnya, untuk mengisi kesepiannya selama perjalanan, dia selalu membawa gitar kopong. Tempat tidur tak menjadi masalah bagi pria bertindik ini, dia sering tidur di hutan apabila tak ada rumah yang bisa disinggahi. Tapi kalau masuk kota dia biasa menginap di klub sepeda setempat atau mesjid. ”Kebanyakan tidur di hotel berbintang bro, tapi kalau mendung atau hujan, bintangnya hilang..he...he..he” cerita Onthelis ini sembari tertawa.

Karena berpenampilan aneh, orang sering salah sangka terhadap dirinya. Sempat ada yang mengira Techno tukang monyet, tukang sol sepatu, bahkan mbah dukun. Kulitnya hitam terbakar matahari, memakai blangkon, jins belel, tindik di bibir, rajah di lengan, dan sepatu bot tentara bertali merah. Ditambah lagi sepeda miliknya dipenuhi pernak-pernik khas daerah yang disinggahinya. Tak tertinggal stiker berbagai klub motor dan sepeda, serta logo pemda merekat di jaket dan sepeda jawanya.

”Saya pernah dipanggil untuk menjahit sepatu di suatu daerah, padahal saya tak bisa, karena mereka memaksa...yaa terpaksa saya melakukannya,” kenang Techno. Sepatu selesai dijahit, lalu Techno menceritakan siapa dia, sontak si pemilik sepatu kaget dengan keinginan pria berusia 26 tahun ini.

Sepanjang perjalanan kira-kira 621 hari, banyak suka-duka maupun kekonyolan yang dialaminya. Ia pernah diburu tiga anjing sekaligus. Lantaran itu, rantai pit pancalnya putus. Beruntung, jalan melandai sehingga tanpa menggunakan rantai sepedanya pun bisa meluncur kencang dan selamat dari kejaran anjing.

Di Kecamatan Kelay Kabupaten Berau Kaltim, pria ini malah berkeras hati mengganti ban dalam yang pecah memakai celana dalam dan rerumputan, sebab tak satu bengkel pun yang dijumpainya.
Medan laga terberat dari beberapa daerah yang dilaluinya yakni perbatasan Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Karena jauhnya berkisar 700 kilometer, dan jalannya melalui perbukitan.

Anggota klub Sedherex Lare Onthel Gunung Kidul (Slogki) Jogjakarta ini mengawali perjalanan dengan uang limaribu rupiah saja. Namun, saat saya bertemu di Makassar, dia sudah mengalungi dua buah ponsel. Berpulsa pula. Agus punya prinsip, selama ia masih santun dan ramah kepada orang lain, rezeki akan terus mengalir. Di tiap daerah yang dikunjunginya, ada saja orang yang kasihan atau salut dan memberikan bantuan.

”Capek, lapar, dan loyo, namun semuanya menghilang ketika dapat reaksi hangat di daerah.” Kata Si Rayap Aspal ini. Namun rasa kerinduan akan rumah sangat di rasakan Si Rayap Aspal ini, hanya gitar dan sambutan yang menjadi hiburan di perjalanan panjangnya.

Di Perjalanan Sutikno sempat di rawat di rumah sakit, karena mengidap penyakit Malaria yang didapatnya selama perjalanan. Bahkan ketika saya SMS-an dengannya, ia mengaku Malarianya kambuh lagi. Dan sedang istirahat di kamar temannya di Makassar.

Sepeda telah menggores kehidupan Si Rayap Aspal dan Teguh. Mereka berharap agar pemerintah bisa menghargai pejalan kaki dan sepeda.
Jalan di Indonesia tak pernah mengakui kendaraan sepeda sebagai pengguna jalan. Jalan di perlebar hanya untuk memuat kendaraan bermesin. Tak ada jalur khusus pengendara sepeda dan pedestrian yang aman. ”Hanya Jogjakarta yang punya jalur khusus sepeda” kata Sutikno. Di Makassar, jalan dibuat selebar-lebarnya, namun tak untuk sepeda dan pejalan kaki.

Selain menantang diri, Sutikno punya tujuan dari perjalanannya ini. Dia ingin melestarikan sepeda tua dan semoga sepeda menjadi kendaraan utama orang Indonesia. ”Sepeda itu kendaraan hebat dan semoga orang-orang Indonesia kembali bersepeda” katanya.

Walaupun kedua orang ini punya alasan bersepeda yang beda, mereka punya satu kesamaan melihat sepeda. Sepeda bukan kendaraan orang miskin, udik atau orang tebal muka, tapi kendaraan yang sangat ramah pada dunia. Alam raya sudah kotor dengan polusi udara tak terkendali kendaraan bermesin. ”Saya ingin mengenalkan sepeda pada seluruh Indonesia dan tak ingin mengotori udara” Ucap Tekno.

Posted by muhammad mubarak aziz malinggi' at 10.5.08

11 April 2008

Buku-buku Terbitan Ininnawa





















PENERBIT ININNAWA

Buku-buku yang terpajang di blog ini dapat diperoleh di Penerbit Ininnawa Jl. Perintis Kemerdekaan Km 9 No 76 (Depan Showroom Mercedes Benz) Tamalanrea, Makassar atau pemesanan via atau sms ke (0411) 2357627 atau distribusiininnawa@gmail.com

Posted by muhammad mubarak aziz malinggi' at 11.4.08