31 January 2008

Tuak Toraja dan Keremangan Galampang


Citizen reporter Muhammad Mubarak yang lahir dan besar di Tana Toraja menuliskan suatu sisi lain dari daerah pariwisata ini: galampang. Keterikatan khas masyarakat Toraja dengan tuak atau disebut ballo’, yang tidak terpisahkan dari ritual dan budaya setempat, membuat kehadiran galampang -- yang secara harfiah berarti tempat tetirah, menjadi sulit diabaikan untuk melihat potret masyarakat Toraja secara utuh. Galampang bisa jadi sebuah lembaran yang remang, hitam, tempat berkumpulnya masyarakat pinggiran, dan sarang berbagai kerawanan sosial yang tidak tertulis di buku panduan wisata yang gemerlap, tapi ia adalah kenyataan yang berdenyut di tengah kita.(p!)

Orang menenggak minuman keras adalah pemandangan lumrah dan wajar ditemui di Tana Toraja. Tua muda, laki-laki dan perempuan, turut di dalamnya. Tempatnya, di mana saja, di pinggir jalan, di rumah, bahkan depan kantor polisi sekali pun.
Yang ditenggak, entah itu ballo' ataupun minuman keras buatan pabrik, pokoknya tak ada larangan.

Sejak dulu, nenek moyang orang Toraja sangat akrab dengan minuman keras. Minuman yang digemari umumnya adalah tuak enau, berasal dari cairan pohon induk atau nira (Borassus flabellifer) yang difermentasi. Saya masih ingat perkataan salah seorang kakek di kampung, ”Tannia toraya ke tae na mangngiru.” Artinya, bukan orang Toraja kalau tidak meneggak minuman keras. Sembari berkata begitu, kakek itu menawarkan ballo’ kepada saya.

Ballo’ wajib hadir dalam ritual-ritual adat Toraja, baik sebagai kelengkapan upacara maupun untuk menyambut para tamu. Bagi orang Toraja sendiri, meminum ballo’ biasa dilakukan untuk menghangatkan tubuh dari terkaman dingin, dan diyakini dapat menambah tenaga bagi peminumnya. Bukan untuk mabuk-mabukan. Jadi sangat jarang dijumpai orang mabuk karena meneggak ballo’. Minuman beralkohol rendah dengan kadar 5-10 persen ini, warnanya agak putih seperti air beras namun sangat encer. Baunya sangat khas mirip bau asam cuka dan rasanya agak pahit sedikit kecut. Orang Toraja menyebut rasa ini seperti “manis-manis jambu”.

Untuk mencicipi ballo’ di Toraja, khususnya di Pasar Makale, sangatlah mudah. Silakan saja berkeliling di sekitarnya. Tiap sudut dan perempatan jalan pasti ada yang membawa jerigen yang berisi ”Bir Toraja”. Biasanya para passari atau penyadap nira menjual langsung ballo’ dalam jerigen-jerigen 10-20 liter di seputaran pasar Makale, dan ada pula yang menjualnya ke warung-warung ballo’ dan warung makan yang banyak tersebar di pasar ini, maupun terminal regional Makale. Tak heran jika hampir seluruh dari warung makan menyajikan ballo’ sebagai ”air putih”.

Para pedagang berasal dari desa-desa di sekitar Makale menjual ballo’ yang baru diturunkan dari suke (bambu tempat menadah cairan tuak), pada pagi atau sore hari. Ballo’ sifatnyatidak tahan lama. Apabila ballo’ itu telah bermalam (ma’bongimo) maka rasanya akan menjadi ballo’ messuk (kecut), peminumnya akan sakit perut. Makanya ballo’ yang enak hanya dapat dinikmati di daerah Toraja.

Mari kita lihat di ibukota kabupaten, Makale. Di sudut barat pasar Makale, sekitar 20 warung ballo’ berderet seperti menciptakan dunia remang-remang sendiri. Barisan warung sepanjang 200 meter itu terlihat jelas karena bersampingan dengan los-los barang campuran, pakaian, dan penjual bumbu masakan. Lantaran letaknya yang begitu terbuka, warung-warung tuak tersebut seperti menjadi penyambut pengunjung pasar Makale.

Semua angkutan dan penumpang yang datang dari berbagai penjuru Makale dan sekitarnya berhenti dan turun di jalur ini. Mau tak mau, mereka akan melihat jelas aktivitas manusia-manusia di warung yang dikenal dengan sebutan galampang, yang secara harfiah berarti tempat beristirahat.

Setiap pagi dan sore hari, tong-tong plastik ukuran besar yang menampung galonan liter ballo’ dikumpulkan dari passari, baik yang melintas atau yang datang menawarkan ballo’ kepada warung-warung di galampang. Dalam sehari, tiap warung mampu menjual 50 liter lebih ballo’. Terlebih ketika hari pasar tiba, bisa-bisa mencapai 60-70 liter. Jumlah ini bergabung dengan minuman pabrik minuman beralkohol lain seperti bir, anggur, dan minuman putih yang biasa dicampurkan dengan ballo’.

Dunia remang
Galampang adalah dunia yang kompleks. Secara fisik, galampang yang berukuran 3 x 3 meter itu menjadi tempat berkumpulnya para peminum dari segala penjuru Makale sejak pasar berdiri tahun 1986. Tempat sekecil inilah yang menjadi tempat puluhan orang berpesta ballo. Bau kecut dari ballo, orang mabuk, ikan bakar, dan rayuan pelayan-pelayan warung menjadi suasana khas di galampang.

Pelayan-pelayan di sini, kebanyakan berasal dari pelosok Toraja. Selain bekerja sebagi pelayan, ada sebagian yang secara terang-terangan menawarkan layanan syahwat kepada pengunjung. Galampang memang adalah serba remang. Perempuan yang masuk dalam jeratan transaksi syahwat di galampang disebut boncis. Namun ada juga yang memanggil mereka kalli lotong. Sebutan ini mulai marak disandangkan pada mereka pada awal tahun 2000-an. Berasal dari kata kalli yang artinya celana dalam dan lotong artinya hitam. Asal muasal penyebutan bagi pekerja seks komersial di kawasan galampang ini, tak jelas dari mana. Ironis memang bahwa di galampang, dunia hitam itu terbentang di depan mata siapa saja yang bermaksud singgah beristirahat.

Orang Toraja memang senang berkumpul dan minum-minum. Lihatlah mereka berdesakan di warung-warung. Meski kapasitas pengunjung yang dapat ditampung satu warung maksimal 10 orang, orang-orang tampak tak peduli. Jika warung telah penuh, pengunjung biasanya minum di bale-bale tepat di depan warung. Ada pula yang menikmati minumannya dengan berjongkok membentuk lingkaran kecil disekitar galampang.

Jika bertepatan dengan hari pasar yang jatuh enam hari sekali, galampang akan disesaki oleh orang yang melepaskan penat setelah lelah berbelanja di pasar Makale. Mereka biasanya sekadar meminum segelas ballo’ atau sebotol bir. Harga ballo’ di sini relatif mahal dibandingkan minuman pabrik seperti bir, anggur, dan minuman putih lainnya. Untuk menikmati pahit manisnya segelas ballo’, kita harus rela mengeluarkan uang sebesar Rp3.000 - Rp5.000. Namun jika memesan satu teko, harganya agak murah, cuma Rp7.000.

Hingar bingar house-music di kawasan ini terdengar serak. Siang malam irama dari satu warung ke warung lainnya seolah saling berkejaran. Namun sekarang, karena alasan keamanan, pemilik warung harus menutup dagangannya di bawah jam 10 malam.

Di sekitar galampang juga banyak pa’kurung, atau ayam yang dikurung dan dirawat khusus. Pagi-pagi sekali, para pemilik ayam ini memandikan, memberi makan, mengurut, dan menjemur jagoan mereka di sepanjang jalan di depan galampang. Barisan kurungan ayam (salokko) yang terbuat dari anyaman bambu menjadi pemandangan yang begitu akrab. Penghuni galampang tak lepas dari judi sabung ayam, seperti orang Toraja umumnya.

Dunia Preman
Premanisme memang tak bisa dilepaskan dari denyut nadi pasar. Pria bertato, hanya mengenakan baju singlet dengan mata yang merah, membuat pengunjung pasar takut untuk melintas.”Ada orang yang kerjanya cuma nongkrong dan mabuk di warung di galampang,” kata seorang pedagang voucher pulsa ponsel, yang letak kiosnya berhadapan dengan galampang. Sambil menunjuk ke sekelompok orang yang asik menenggak ballo di sudut galampang.
Kebetulan sekali rumah saya terletak tepat di depan galampang. Dari wajah mereka saja, saya sudah mengenali.

Merekalah para laki-laki yang bermata merah, dengan rajah menghiasi tubuh, yang memegang gelas tuak, yang menguasai pasar. Saya terbiasa menerima kehadiran mereka. Kadang mereka tersenyum jika saya melintas atau sekadar mengucapkan, ”Halo sangmane!” (Hai, kawan!).

Tapi tak usah terlalu khawatir melintasi kawasan ini. Walaupun di sini sarang para pemabuk, tapi sangat jarang terdengar keributan, perkelahian dan pemalakan. Mungkin karena para penghuni galampang ini sudah saling mengenal satu sama lain atau ikatan persaudaraan mereka yang memang kuat. Kasus kriminal yang paling besar dan menggemparkan Toraja terjadi pada tahun 2001. Seorang pedagang yang bersuku Makassar menikam seorang anak sekolah mabuk yang sering memalak dagangannya di galampang.

Dulu sebelum direlokasi, galampang lama merupakan tempat gelap, sempit, dan kumuh. Bayangkan jika, seorang pemabuk bertemu pemabuk lain di tempat gelap dan sempit. Bersenggolan sedikit saja akan memicu perkelahian. Namun setelah dipindahkan, perkelahian sudah sangat jarang. Mungkin lantaran mereka bersebelahan dengan pemukiman penduduk di kawasan pasar Makale.

Masalah keamanan memang sangat dijaga oleh para pengunjung di sini. Memang, selama saya tinggal di kawasan ini, saya tak pernah mendengar kasus pencurian yang dilakukan oleh para penghuni Galampang. ”Barang-barang dagangan di kios-kios hanya ditutup dengan terpal, tak akan ada yang mencurinya,” tutur seorang salah satu pedagang campuran yang bersebelahan dengan galampang.

Sebelumnya, daerah ini adalah tempat yang paling ramai dibandingkan tempat berbelanja lainnya di pasar. Namun, setelah galampang berada disini, orang mulai enggan datang berbelanja. Mungkin karena banyak pemabuk berkeliaran. Keberadaan galampang yang berdampingan dengan pedagang komoditas lain, berakibat kurangnya pendapatan pedagang lainnya.

Relokasi galampang memang sangat bermasalah. Selain penataannya amburadul, kawasan ini sempat ditentang oleh masyarakat sekitar.

Pengunjung galampang sebenarnya bukan hanya kaum pengangguran dan preman, ada juga pegawai negeri sipil, polisi dan tentara yang sering nongkrong. Kehadiran mereka mencolok di galampang karena seragam yang dikenakan. Demikian juga anak sekolah yang membolos masih menggunakan seragam. Bahkan ada guru sekolah yang sering minum di situ.

Bagi para peminum, galampang adalah surga yang menyajikan kenikmatan seteguk ballo’ dan rayuan kalli lotong. Yang melepas lelah di sini, termasuk para pengangguran, kuli, tukang becak, tukang ojek, dan sopir angkutan umum. Mereka, rakyat yang masuk kategori marjinal dalam indikator sosial dan pembangunan ini, adalah penyumbang utama bagi denyut dan napas di galampang.

Labels:

Posted by muhammad mubarak aziz malinggi' at 31.1.08

22 January 2008

Saatnya kaum LGBT unjuk gigi



“kenapa cuma lokalisasi nusantara yang ada, kenapa kami tak dilokalisasi juga apabila kami memang menggangu ketertiban kota. Ini adalah panggilan jiwa dan kami berhak untuk menuntut hak hidup yang layak” ungkap Melanie dengan berapi-api sebelum membacakan puisi berjudul rona warna.

Saat itu jabang bayi lelaki terlahir ke dunia
Dengan keadaan fisik yang utuh
Serta...... tangisan yang sama
Layaknya bayi yang lainnya
Namun seiring waktu
Belasan tahun berlalu
Keadaan menentukan lain
Tumbuh
Keadaan jiwa yang mendua
Keinginan
Hasrat...birahi dan perasaan
Layaknya bak kaum hawa
Dan terjebak diantara kebimbangan dan khayalan
Walau nurani ini sadar pada kenyataan………

Dengan suara yang hampir serak namun berusaha tetap kemayu saat membacakan puisi, membuat saya terdiam mendengarnya. Matanya berkaca-kaca, bibir yang merah dan penampilan yang lebih seksi dari “perempuan” sesungguhnya. Inilah cara Melanie mempersembahkan sesuatu buat sesamanya. Melalui acara yang digelar oleh komunitas SEHATI Makassar untuk memperingati hari waria internasional. Bale bambu Café ininnawa menjadi tempat berkumpulnya para kaum lesbiyan, gay, biseks, dan transeksual (LGBT). Puluhan “pria” dan “wanita” dari berbagai sudut kota Makassar berkumpul mengadakan acara peringatan hari waria internasional.

Setiap tanggal 20 November para waria dunia memperingati hari waria internasional. Hari waria ini dilatarbelakngi peristiwa pembunuhan terhadap Rita Hester pada 20 November 1998 di San Fransisco. Dan hingga kini kasusnya belum terungkap. Hal inilah yang menyebabkan tanggal 20 november digunakan para waria sedunia untuk mengenang kekerasan yang terjadi atas kaum wadam ini.

Malam itu, seluruh lampu café ininnawa di matikan, yang ada hanya pancaran cahaya warna biru berasal dari LCD yang terletak di panggung. Terlihat seorang perempuan dengan dandanan yang sangat menor berdiri dekat layar. Pakaiannya sangat ketat hingga lekuk tubuhnya nampak jelas. Umurnya masih muda dan memakai selempang. Miss Uniperes tertulis di salempang yang digunakan waria ini. Kemudian ia memperkenalkan diri, “nama saya indri, tapi nama pria saya indra” lirihnya lembut. Saya yang berada di posisi paling depan sontak tertawa mendengarnya. Indri, pemenang Miss Uniperes 2007 yang digelar 7 juli 2007 di gedung MULO, didaulat untuk menjadi MC malam itu.

Acara yang dibalut dalam bentuk film screening, pembacaan puisi dan diskusi merupakan kampanye anti kekerasan terhadap LGBT. “Kekerasan terhadap kaum menyimpang ini harus dihentikan” ungkap mbak Joice sang ketua panitia.

Lima film yang diputar tak jauh dari kehidupan para kaum “menyimpang”. Film magai 2 yang disutradarai Iking Siahsia menceritakan seorang anak SD. Buhe (11) siswa SD yang mengalami orientasi seksual yang berbeda dengan teman-teman prianya. Ia senang meraba paha teman prianya di sekolahnya dan senang pula melihat pria dewasa. Menurut sang sutradara, film ini merupakan gambaran masa kecilnya. Kala itu, orientasi seksnya belum jelas akibat ketidaktahuannya.

Pertunjukan bissu pangkep hadir ditengah kami melalui the last bissu, disutradarai oleh Rhoda Grauer. Film ini menceritakan kehidupan bissu, seorang ulama tertinggi dalam budaya bugis kuno yang tetap ada. Bissu saidi, berjuang melawan arus budaya yang mengikis adat bugis yang ada dalam legenda I laga ligo.

Renita, renita , bercerita tentang seorang waria yang mengalami kekerasan dari lingkungan mayoritasnya. Ketika dia masih tinggal bersama orang tuanya di palu, Sulawesi tengah. Film ini disutradarai tonny trimarsanto ini, merupakan film advokasi terhadap waria yang dipesan oleh Komisi nasional HAM. Namun karena isu ini sangat sensitive, maka alur film ini berubah menjadi kisah perjalanan Muh zein pundagau; Nama pria renita pundagau.

kekerasan sampai nyebong di lahan basah karebosi

Berbekal sebungkus rokok, saya mendekati salah satu waria dan bermaksud mengajaknya bercerita. Awalnya saya agak risih melihat penampilan dan cara bicaranya yang agak kelaki-lakian. Setelah duduk tanpa kata, dia pun menyapaku. “hai cowok, kenapaki diam terus?”tanya waria ini sambil mengerlipkan matanya kearahku. Singkat cerita, dia pun bercerita mengenai susahnya menjadi seorang wanita di lingkungannya. “fisik saya memang lelaki, tapi aku jijik melihat perempuan” tutur pemilik salon uut ini. Mas’ud, “pria” kelahiran pinrang ini bahkan menceriterakan kelainan ini sudah sejak TK dulu; suka sama lelaki. Bahkan dalam mimpi dia bermimpi disetubuhi oleh lelaki bukan perempuan. Sebenarnya uut tak ingin menjadi seperti ini, namun dia tak sanggup melawan jiwa perempuannya. “Aku tak ingin menikah dengan perempuan, aku ingin menikah dengan lelaki” tutur uut menutup pembicaraannya.

Indri Sabrina Ayuniani alias Indra juga punya pengalaman mengenai kekerasan yang di dapatkan dari orang tuanya. “saya sering di pukul sapu oleh bapak” tutur mantan ketua osis di salah satu SMA di bungoro. Namun karena prestasi yang dia raih selama jadi waria, orang tuanya mulai mengerti keganjilan anak prianya. Indri pernah menyabet waria terfavorit se-kabupaten barru, menjabat ketua PMR, dan meraih anugerah waria terbaik dalam Miss Uniperes 2007.

Lain pula dengan Melanie, yang pada malam itu tampil membacakan puisi berjudul rona warna. Dulu ia sering di pukuli oleh orang tuanya karena senang berdandan seperti perempuan. Dia pernah lari ke Surabaya selama setahun karena kekerasan dari orang tuanya. “saya pernah di lempar dari atas rumah oleh orang tuanya” katanya.

Kekerasan terhadap kaum LGBT memang kerap terjadi. Masih segar dalam ingatan kita peristiwa penyerangan Front pembela islam (FPI) pada pemilihan ratu waria 2005 di Jakarta. Pada tahun 2000, di Yogyakarta, ada juga peristiwa penyerangan oleh gerakan pemuda ka’bah (GPK) terhadap acara sosialisasi penangulangan HIV/AIDS yang pesertanya berasal dari kaum gay dan lesbian. Dan sampai saat ini kasus seperti ini tak pernah disentuh tangan hukum.

Di Makassar sendiri, mereka kerap dipukuli oleh aparat jika terjaring dalam razia. Padahal menurut salah seorang peserta diskusi, banyak polisi dan pns yang sering menggunakan “jasa” waria untuk memenuhi hasrat seksnya. Pada saat razia, banyak aparat yang memeras kaum lemah lembut ini. Uang, handpone dan barang berharga lainnya akan disita oleh aparat apabila mereka terjaring razia. Apalagi semenjak karebosi dibangun, mereka banyak berkeliaran dijalan-jalan protokol, perempatan-perempatan di tengah kota menjajakan tubuhnya. Apabila mereka ditangkap sedang bermain dijalan maka kekerasan pasti akan terjadi terhadap mereka.

Karebosi, sebelum revitalisasi adalah pusat nyebong (nongkrong) para waria dari segala penjuru Makassar. Karebosi adalah tempat yang paling damai buat waria mencari nafkah. Joice mengatakan, seorang waria tak sah di sebut waria apabila belum pernah merasakan kerasnya hidup di karebosi. namun sekarang entah dimana kaum ini berhamburan setelah lahan mereka dirampas pihak Pemkot Makassar.

“Revitalisasi karebosi adalah pelanggaran yang dilakukan pemerintah kota Makassar. Pemerintah telah merusak sejarah, selain itu karebosi adalah daerah resapan air dan ruang public yang tidak boleh dikomersilkan” ujar joice, waria yang pernah mengikuti pertemuan waria sedunia di pattaya Thailand.

Saya kagum mendengar mereka berbicara karebosi. Tak ada soal dengan hilangnya mata pencaharian wariass di lahan basah itu. Yang di permasalahkan adalah kerugian masyarakat kecil akibat revitalisasi. Mereka memandang karebosi adalah sejarah, karebosi adalah daerah serapan air. .Seandainya walikota Makassar mendengar keluhan dari kaum marginal ini. Mungkin saja mereka tidak berkeliaran di berbagai perempatan kota Makassar.

Saya jadi teringat pesan desmond tutu yang mengatakan “Jika saya diperkenankan menghapus salah satu ketidak -adilan, saya menginginkan dunia ini tidak lagi menghajar seseorang hanya karena orientasi seksualnya. Ketidak-adilan ini sama kejamnya seperti kejahatan terhadap kemanusiaan yang satu lagi, yaitu Apartheid”. Kita sama-sama manusia, yang diciptakan dalam berbagai warna dan orientasi yang beragam.

Malam semakin larut, Miss Fotogenic 2007 menutup acara ini dengan harapan tak ada lagi kekerasan terhadap waria di dunia. Sebuah cita-cita kedamaian dunia yang disuarakan dari kaum “tulang lunak” ini.

Labels:

Posted by muhammad mubarak aziz malinggi' at 22.1.08

Gebrakan kredit mikro muh yunus



beri tepuk tangan untuk kawan kita, teladan perjuangan melawan kemiskinan” Hugo Chavez. Begitulah komentar presiden Venezuela pada sampul buku Bank Kaum Miskin. Sebuah buku otobiografi Muh Yunus dalam memberantas kemiskinan yang melanda dunia.

16 Desember 1971, Bangladesh memenangkan perang. Tiga juta orang Bangladesh tewas, 10 juta orang mengungsi, jutaan perempuan diperkosa tentara Pakistan. Saat perang berakhir, Bangladesh menjadi negara berantakan, perekonomian hancur, jutaan orang membutuhkan perbaikan. Akhirnya tahun 1972, Yunus memutuskan meninggalkan amerika serikat untuk kembali ke Bangladesh dan berpartisipasi dalam pembangunan negaranya. “saya pikir inilah utang saya pada diri sendiri” tulis Muh Yunus.

“Tahun 1974, saya mulai muak dengan teori-teori yang saya ajarkan di ruang kelas. Teori ekonomi elegan yang dianggap bias menyelesaikan berbagai macam persoalan masyarakat” kata Muhammad Yunus, penerima Nobel perdamaian tahun 2006. Persoalan kemiskinan yang menghantui Bangladesh awal kemerdekaan membuat Muh Yunus meninggalkan kemapanan teori universitas dan terjun mempelajari langsung ke masyarakat

Muh Yunus, dilahirkan di Chittagong tahun 1940, sebuah pelabuhan terbesar di Bangladesh. Pria yang rambutnya sudah memutih ini dibesarkan di jalan Boxirhat yang terkenal sebagai kawasan perajin perhiasan. Ayahnya seorang perajin emas; Pindah ke daerah Chittagong karena tempat lamanya dihancurkan oleh tentara jepang.

Yunus kecil telah menunjukkan kepekaan terhadap lingkungannya, utamanya masalah kemiskinan. Walaupun anak yang tergolong mampu, dia bergaul, dan membantu siapa saja yang membutuhkannya. Yunus anak yang cerdas, rajin membaca, dan suka melukis. Saking cintanya dengan membaca, ia pernah menipu sebuah redaksi majalah anak-anak kegemarannya;Shuktara.

Waktu itu, majalah Shuktara mengadakan sayembara berhadiah, gratis berlangganan selama setahun. Yunus memakai nama pemenangnya dan menuliskan surat. “Dengan hormat, saya si anu, pemenang sayembara, dan kami telah pindah alamat. Sejak sekarang kami, mohon kirimkan lagganan gratis itu kami ke jalan boxirat no-”. sejak saat itu dia menikmati majalah kegemarannya secara gratis. Semasa Sekolah Yunus sangat aktif di kepramukaan, ia pernah ikut jambore dunia tahun 1959 di Jepang, Kanada dan Filipina.

Menginjak umur 21 tahun Yunus telah menjadi seorang pengusaha yang boleh dikata sukses. Disamping menjadi Pebisnis, dia juga menyempatkan diri untuk mengajar di kampusnya. Meski hidupnya sukses, tak menyurutkan jiwanya untuk belajar dan memutuskan melanjutkan gelar PhD di amerika serikat.

Di Amerika pula ia mendapatkan seorang istri, yang pertama kali ia temui di perpustakaan kampus. Yunus seperti orang Bengali lainnya, pemalu dan sangat sopan. Vera forostenko, wanita berambut pirang sebahu berkebangsaan rusia, dan bermata biru. Setelah sekian lama menjalin cinta .Akhirnya pada tahun 1970 mereka menikah.

1971, Bangladesh menuntut kemerdekaan dari Pakistan. Tiap hari Yunus mencari informasi tentang kampung halamannya. Ia bersama teman-teman Bengalinya membentuk sebuah dewan kemerdekaan Bangladesh. Yunus bertugas melobi kedutaan besar di Amerika Serikat agar mengakui keberadaan bangladesh. Yunus juga dipercaya memimpin sebuah Koran berkala, Bangladesh newsletter.

Awal membentuk Grameen bank.

Muh Yunus terkenal atas usaha yang dirintisnya di Bangladesh yang dikenal sebagai credit union. Usaha pemberian kredit mikro tanpa agunan yang diberikan kepada kaum miskin di banglades. Berawal dari kegelisahan sekembalinya dari amerika tahun 1972 dan menjadi dekan di fakultas ekonomi Chittagong university. “banyak orang mati kelaparan, namun semua orang takut membicarakannya”kata mantan anggota komisi perencanaan pemerintahan Bangladesh. Saat itu media, institusi pendidikan dan pemerintah bungkam melihat Bangladesh dalam ambang kehancuran.

Dia pun memberanikan diri membuat pernyataan ke media tentang kelaparan yang ada di Negara yang populasi penduduknya sekitar 120 juta. Alhasil, perhatian media sangat besar dan membuka mata pemerintah dan institusi pendidikan yang bungkam melihat keadaan.

Ide pembentukan lembaga keuangan mapan berawal ketika muh yunus melakukan survey terhadap masyarakat mengenai kemiskinan dilihat dari kacamata masyarakat. Bersama beberapa orang mahasiswa dan stafnya melakukan penelitian selama berbulan-bulan di daerah Jobra, sebuah desa yang terletak di sekitar Chittagong University.

Suatu hari yunus berjalan-jalan bersama seorang mahasiswanya mencari gubuk yang paling reot di daerah jobra. Matanya tertuju pada sebuah gubuk reot dan hampir rubuh. Sufiya, nama pemilik gubuk itu, seorang perajin kursi bamboo. Yunus melakukan wawancara dan mendapatkan fakta bahwa keuntungan dari pembuatan kursi bamboo itu hanya 2 sen sehari. Hal ini disebakan praktek renteineir yang mencengkram desa itu.

Sekembalinya dari desa, yunus memerintahkan mahasiswanya untuk mendata penduduk seperti sufiya. Ternyata, ada 42 orang dengan pinjaman sebesar 865 taka (kurang dari US$27).”ya tuhan, ya tuhan. Semua derita keluarga itu hanya karena tidak memiliki uang 27 dollar”kata yunus.

Keesokan harinya yunus pergi menemui manajer Bank Janata cabang Chittagong University untuk meminta bantuan sebesar US$300 untuk membantu 42 kaum papa ini. Namun yang di dapatkannya hanyalah cibiran dan yunus dianggap orang gila. Hal ini tak menyurutkan semangatnya mencari suntikan dana. Akhirnya ia mengajukan proposal ke pusat Janata Bank. Dan mendapatkan modal itu setelah menjaminkan dirinya sendiri. Perlu waktu 6 bulan untuk menanti uang 300 dollar itu. Melalui modal 300 dollar inilah ia mengembangkan pinjaman tanpa agunan kepada masyarakat miskin di daerah jobra. Menurut Muh Yunus agunan masyrakat kecil adalah kepercayaan, nyawa dan harga diri. Ini adalah agunan yang sangat berharga dalam perputaran kredit.

Karena kepercayaan, Grameen Bank eksis hingga kini, bahkan telah membuka cabang sebanyak 1.181 yang bekerja di 73.000 desa dan mempekerjakan staf sebanyak 11.777 orang. Sejak berdiri jumlah pinjaman yang disalurkan sebanyak US$3,9 milyar yang diberikan kepada 7 juta orang miskin. Dari jumlah itu, sebanyak US$3,6 milyar yang telah dikembalikan dengan tingkat pengembalian sebesar 98%.

Kritik terhadap lembaga donor

Suatu kali, pria yang pernah di panel bersama presiden bak dunia ini, diwawancarai seorang wartawan amerika. Wartawan itu bertanya langkah kongkret apa yang anda lakukan, seandainya anda menjadi presiden bank dunia? Dengan sangat santu dan sopan yunus mengatakan akan memindahkan kantor pusat bank dunia ke Dhaka(saat itu Dhaka adalah daerah termiskin di dunia). Bank dunia adalah lembaga yang memerangi kemiskinan. Maka seharusnya kantornya harus di tempatkan di daerah yang kemiskinannya paling parah. Dengan berada di tempat yang dekat dengan persoalan, mungkin para pejabat bank dunia bias tersentuh melihat penderitaan nyata.

Hasil studi heritage foundation tentang tingkat keberhasilan IMF dalam memberikan bantuan ekonomi kepada 80 negara di dunia dalam kurun waktu 1965-1995 sangat menyedihkan. 48 negara justeru tidak lebih makmur dibanding ketika sebekum ditolong IMF dan 32 negara bahkan menjadi lebih miskin.

Bank dunia, IMF dan lembaga keuangan lainnya tak mampu memberikan solusi untuk mengatasi kemiskinan yang melanda dunia. Mereka hanya menyuap nasi ke mulut orang miskin, namun tak mampu untuk memberikan benih kepada kaum miskin dunia. Inilah yang sangat disayangkan yunus.

Hadiah nobel perdamaian

Buku ini juga melampirkan pidato Muh Yunus pada saat penerimaan hadiah nobel perdamaian di Oslo 2006 lalu. Tak ada yang menyangka, seorang ekonom yang bergaul dengan masyarakat desa memenangkan anugrah perdamaian tertinggi di muka bumi ini. Selama ini, penerima nobel perdamaian adalah orang yang aktif berbicara perang, terorisme dan kekerasan fisik.

Perdamaian memang harus dipahami secara manusiawi, dalam lingkup ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Perdamaian akan terancam apabila tatanan ekonomi, sosial, dan politik yang tidak adil. Kemiskinan akut tidak bisa memupuk perdamaian dalam masyarakat manapun juga. Frustrasi, permusuhan dan kemarahan yang disebabkan kemiskinan akan menyebabkan konflik. Untuk membangun stabilitas dunia yang nyaman, diperlukan cara untuk menyediakan hak hidup yang layak bagi semua ummat manusia. Seperti yang dilakukan yunus saat ini.

Perang melawan kemiskinan beralih ke perang melawan terorisme akibat peristiwa 11 September. padahal salah satu penyebab terjadinya perang dan terorisme adalah kesenjangan ekonomi. Hal ini tak dapat diselesaikan dengan kekuatan militer seperti yang dilakukan Amerika terhadap Irak. Amerika telah menghabiskan US$ 530 milyar untuk membiayai perang Irak. Bayangakan jika uang sebanyak itu di berikan kepada penduduk miskin di dunia. Tak heran jika Komite Nobel Norwegia memberikan anugrah tertinggi bidang perdamaian ini kepada Muh Yunus atas jasanya dalam memberantas kemiskinan yang sedang menjangkiti dunia.

Membaca buku ini, saya teringat dengan Negara Indonesia. Bagaimana pemerintah memperlakukan usaha kecil dan menengah dalam masalah kredit permodalan. Begitu sulitnya mendapatkan suntikan modal dari bank. Birokrasi yang rumit, mengisi daftar inilah, itulah, formulir ini, itu, dan harus mempunyai jaminan jika ingin memperoleh kredit dari bank.

Namun pada saat krisis moneter tahun 1997-2000, ternyata UMKM menjadi penyangga ekonomi makro yang sering menjadi perhatian pemerintah. Dibutuhkan perhatian pemerintah terhadap ekonomi lemah, seperti yang dilakukan muh yunus terhadap negaranya.

“Mari kita bergandeng tangan untuk memberi setiap makhluk hidup kesempatan yang adil untuk melejitkan energi dan kreatifitas mereka” menjadi penutup dari pidato di depan Komisi Nobel Norwegia.

Labels:

Posted by muhammad mubarak aziz malinggi' at 22.1.08