09 June 2008

Ayah, Anak Beda Warna!


Tino Saroengallo lahir di Jakarta. Tetapi, di tubuhnya mengalir darah Toraja. Ayahnya, Renda Saroengallo, adalah orang Toraja. Sebagai anak yang lahir di Jakarta, Tino mendefinisikan dirinya sebagai ”Anak Toraja Kota”. Tino begitu galau terhadap adat yang tidak membesarkannya, tetapi malah membelenggunya. Hal itu ia alami ketika ayahnya meninggal dan harus dimakamkan di Toraja mengikuti aturan adat.

Namun tidak dijelaskan oleh Tino, apa yang dimaksud ”Toraja Kota”. Barangkali karena Tino lahir dan tinggal di Jakarta sehingga kota yang dimaksud adalah Jakarta. Dan Toraja, mungkin, karena di tubuhnya mengalir darah Toraja. Karena Toraja bukan kota, apalagi tanah kelahiran ayah Tino masuk kategori desa.

Buku ini menyajikan kisah Tino Saroengallo dan ke
luarganya dalam bergulat dengan adat. Diawali dari kisah sebelum ayahnya meninggal, tetapi masyarakat adat Toraja sudah mulai menanyakan soal bagaimana kelak pemakaman Renda Saroengallo, ayah Tino yang usianya 80 tahun ketika meninggal.

”Bagi masyarakat Indonesia umumnya pertanyaan ini mungkin aneh. Tetapi, bagi kami, suku Toraja Sa’dan, itu pertanyaan biasa. Pasalnya, pesan seseorang sebelum meninggal tentang tata cara ia dimakamkan sangat penting untuk mencegah pertikaian di antara keluarga yang ditinggalkan, terutama di kalangan masyarakat strata bangsawan atau tana’bulaan,” ujar Tino mengawali kisahnya yang ditulis pada bab 1 ”Pesan-pesan”.


Tata cara atau peraturan adat memang sudah dikenal turun- temurun atau bisa disebut telah bergenerasi. Aluk to dolo sebagai agama lokal masyarakat Toraja memiliki patokan peraturan. Tino juga mengerti akan hal itu dan menuliskannya di halaman 95. Simak apa yang ia lantunkan:

”Aluk to dolo berpatokan pada peraturan-peraturan yang diberikan sebagai bekal oleh Puang Matua kepada pasangan Puang Bura Langi dan Kombong Bura ketika dikirim ke bumi.
Peraturan itu mengatur tata cara hubungan antara manusia dan dewa-dewa serta peraturan-peraturan antara manusia dan manusia. Peraturan itu disebut aluk sanda pitunna (aturan serba tujuh). Jumlah asalnya adalah pitu lise’na, pitu pulona, pitu ratu’na, pitu sa’bunna, pitu kotekna, pitu tampangna, pitu sariunna (7.777.777). Tetapi konon, para pengikut Puang Bura ”Langi” tidak sanggup memikul seluruhnya turun ke bumi sehingga yang terbawa sampai ke bumi hanya 7.777, bahkan ada yang mengatakan hanya 777”.

Dimensi kultural dan ekonomi

Buku ini secara naratif dan bertutur mengisahkan pergulatan yang dialami Tino dan keluarga bukan hanya melelahkan secara psikis, tetapi juga melibatkan ekonomi. Dalam kata lain, kematian orang Toraja, apalagi seorang bangsawan dan tokoh masyarakat seperti ayah Tino, selain memiliki dimensi kultural sekaligus mempunyai dimensi ekonomis. Dan biaya keseluruhan ritual pemakaman berikut tetek bengeknya menjadi tanggungan keluarga yang ditinggalkan.

Proses pemakaman tidak pernah sepi dari rapat-rapat adat. Tidak sepi dari jumlah orang yang terlibat. Rapat adat bukan untuk mendengarkan tingkat kesulitan keluarga yang ditinggalkan, tetapi lebih untuk mengedepankan adat dan keluarga mengikuti apa yang telah menjadi ”kehendak” adat. Jadi, persiapan dan pembicaraan serta rancangan yang sudah dilakukan di Jakarta, di mana ayah Tino dan keluarganya tinggal, bukan menjadi rujukan. Kep
utusan adat yang berlaku.

Pada dimensi ekonomi, Tino menyebut angka-angka sebagai wujud betapa fantastisnya biaya ritual adat. Angka-angka yang ditulisnya di halaman 156 hanyalah sebagian kecil dari jumlah yang fantastis. Coba kita dengarkan apa kata Tino Saroengallo mengenai angka-angka itu:

Dalam perhitungan kasar, untuk membeli dua kerbau, kami memerlukan dana sebesar Rp 28.500.000. Biaya perjalanan mengantar jenazah sudah menghabiskan dana Rp 38.000.000. Kalau semula Tandi menyatakan maksimum anak ke-5 menyumbang Rp 50.000.000, maka hal itu jelas tidak mungkin lagi. Akhirnya angka sumbangan
dinaikkan menjadi Rp 90.000.000 untuk lima orang anak atau masing-masing Rp 18.000.000. Dari jumlah itu, teoritis kami hanya mampu menyumbang sekitar Rp 20.000.000 untuk persiapan dan pelaksanaan upacara.

Dalam berkisah Tino sering bergerak menggunakan kata ”saya” untuk menyebut dirinya. Namun, kadang beralih pada kata ”kami” untuk menunjukkan bahwa bukan hanya dirinya yang berada pada satu situasi tertentu. Nama-nama selain dirinya disebutkan sebagaimana adanya sehingga terdapat tidak sedikit nama dalam buku ini. Selain menyebut nama ibu kandungnya yang telah bercerai, Tino juga menyebut nama istri kedua ayahnya yang biasa dipanggilnya tante.

Dalam ”kisah adat” yang diceritakan, Tino Saroengallo tak mampu ”melawan” apalagi mengubah adat. Apa yang pernah ia pikirkan: lebih baik ayahnya dikuburkan di Jakarta. Simpel gampang dan tidak mahal, hanyalah pikiran belaka
. Kuasa adat yang menentukan dan Tino serta saudara-saudaranya tidak kuasa menolaknya. Bahkan, kata Tino, kalau dihitung-hitung, utangnya baru akan lunas pada tahun 2014 (hal 335).

Kisah Tino Dan Okwonko

Membaca buku Tino Saroengallo mengingatkan pada buku Things Fall Apart tulisan Chinua Achebe. Dalam bukunya tersebut, Achebe memaparkan kisah dramatis suku Umuofia di Afrika, yang ”segalanya berantakan” karena kehadiran orang (nilai) asing dengan tradisi berbeda. Tradisi yang telah dipegang bergenerasi berantakan tidak bisa dipertahankan, bahkan tokoh yang mencoba mempertahankan tradisi, Okonkwo namanya, juga tidak berdaya menghadapi ”kehadiran orang asing”.

Akhirnya, Okonkwo mati secara tragis: bunuh diri. Dalam tradisi di Umuofia, orang yang meninggal dengan cara bunuh diri tidak boleh dikuburkan oleh suku Umuofia karena bumi yang suci tidak bisa menerima kematian seperti itu.

Buku Tino Ayah Anak Beda Warna berkisah sebaliknya. Tradisi yang telah bergenerasi di Toraja tidak ”berantakan” seperti di Umuofia. Tradisi di Toraja justru semakin kuat dan sedikit sekali memberi tempat anak Toraja yang sudah berinteraksi, dalam istilah Umuofia, dengan (orang) nilai asing, untuk meninggalkan tradisi yang sudah bergenerasi. Adat
akan berupaya keras agar orang Toraja, apalagi tokoh berpengaruh seperti ayah Tino, untuk dikembalikan ke tanah kelahirannya meskipun sudah dalam bentuk jasad.

Terasa menarik membaca buku karya Tino Saroengallo, selain karena teknis penulisannya enak dibaca.
Mengalir. Lebih dari sekadar teknis, narasi Tino memberikan nuansa antropologis, sosilogis, bahkan ekonomis. Dan yang lebih mengagumkan lagi, Tino menuliskannya secara jujur. Data-data tidak disembunyikan. Dituliskan apa adanya. Ada banyak tokoh dan peran disebutkan, tetapi bukan fiktif. Justru tokoh itu benar-benar ada.

Tulisan karya Tino Saroengallo ini bukan fiksi, juga bukan karya ilmiah, tetapi dituliskan menggunakan gaya fiksi. Ada dialog. Ada kisah perjalanan, ada deskripsi, sehingga unsur filmisnya bisa ditemukan.


Kalau Okonkwo tidak berdaya menghadapi orang asing. Tino Saroengallo sebaliknya. Tidak berdaya menghadapi adat. Pergaulan global yang telah dia jalani nyaris tidak mampu memberikan kontribusi perubahan terhadap tradisi yang melahirkan ayahnya, dan tradisi itu dijaga oleh ayahnya meski jalan hidup ayahnya sudah keluar jauh dari tradisi: sekolah di Belanda dan hidup di kota metropolitan Jakarta.

Tino Saroengallo dan keluarga akhirnya menjalankan seperti apa yang ”diminta” tradisi (adat). Jasad ayahnya telah memasukkan Tino Saro
engallo dan saudara-saudaranya pada identitas lokal yang kuat. Dan identitas itu juga melekat pada diri (Tino) Saroengallo dan saudara-saudaranya.

Pada Tino Saroengallo, yang menulis buku ini, barangkali puisi Chairil Anwar berjudul Kepada Kawan bisa melukiskan situasi Tino pada saat dia bergelut dengan adat. Berikut petikan puisi itu:

kawan, mari kita putuskan kini di sini

Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri

Tino Saroengallo memang bukan Okonkwo, yang menempuh jalan tragis.
Meski mungkin, pinjam kalimat puisi Chairil Anwar, adat telah ”mencekik”. Melalui jasad ayahnya, Tino (dan keluarganya) telah dimasukkan ke ”lorong adat’, yang dia tidak mampu menolak. Pilihan yang akhirnya diambil, Tino menerima adat dengan segala konsekuensinya. Dan untuk dirinya dia ”tinggalkan adat” dengan cara menikah lagi untuk ”mengubah” dirinya. Pada yang terakhir ini, rasanya Tino tidak ”beda warna” dari ayahnya (hal 336). Pada ”yang lain-lain” mungkin banyak perbedaannya.

Christianto Wisma Nugraha.
Dosen Jurusan Sastra Nusantara
Fakultas Ilmu Budaya, UGM Yogyakarta
© KOMPAS, Minggu 30 Maret 2008.

Posted by muhammad mubarak aziz malinggi' at 9.6.08